Simbol Bintang David sebagai simbol kuno bangsa Yahudi juga bertebaran di Ise-jingu, kuil Shinto untuk Imperial House of Japan. Ise-jingu di prefektur Mie, Jepang, merupakan sebuah kuil Shinto yang dibangun untuk Imperial House of Japan. Pada kedua sisi jalan menuju kuil tersebut terdapat lampu-lampu yang terbuat dari batu. Di setiap lampu terdapat ukiran bintang david, dekat bagian puncaknya. Hiasan yang digunakan di bagian dala m kuil di Ise-jingu juga bintang david. Ini telah ada sejak zaman kuno. Di prefektur Kyoto, ada kuil “Manai-Jinja”, sebuah Kuil Ise-jingu asli. Bentuk bintang david juga berserak di kuil ini. Sinagog-sinagog bangsa Yahudi yang tersebar di Eropa sejak zaman dulu juga mengukir hiasannya dengan bentuk bintang david, sama seperti yang ada di Jepang.
Yamabusi dan Phylactery
Para pemimpin religi Jepang disebut “Yamabushi”. Dalam pakaian kebesarannya, mereka lazim meletakkan sebuah kotak hitam pada dahi mereka. Ini sama dengan kaum Yahudi yang meletakkan Phylactery (kotak kecil berbahan kulit yang memuat teks-teks Ibrani) juga di dahi. Yamabushi adalah pemimpin keagamaan yang sedang dalam masa latihan dan hanya ada di Jepang. Mereka kini dianggap sebagai bagian dari Budhisme Jepang, namun anehnya Budhisme di Cina, Korea, atau India, tidak memiliki kebiasaan ini. Kebiasaan “Yamabushi” telah ada di Jepang sebelum Budhisme masuk ke Jepang pada abad ke-7.
Pakaian yang dikenakan “Yamabushi” pada dasarnya berwarna putih. Di dahinya, mereka meletakkan sebuah boks kecil berwarna hitam yang disebut “tokin”, yang diikatkan ke kepalanya dengan tali hitam. Mereka benar-benar menyerupai Yahudi yang meletakkan phylactery (kotak hitam) di dahi dengan menggunakan tali hitam. Ukuran “tokin” ini hampir sama dengan ukuran phylactery milik kaum Yahudi. Tapi “tokin” berbentuk bundar dan terlihat seperti bunga. Hanya ada dua bangsa di dunia ini yang meletakkan sebuah kotak di dahi, yakni Israel dan Jepang.
Shofar, terompet Yahudi
Selain mengenakan kotak di dahi, Yamabusi juga biasa menggunakan kerang laut berukuran besar berbentuk mirip dengan tanduk yang digunakan dengan cara ditiup untuk ritual-ritual keagamaan. Hal ini sangat mirip dengan kaum Yahudi yang meniup shofar, tanduk biri-biri jantan. Suara yang dihasilkan Yamabusi serupa dengan suara shofar. Bisa jadi, karena di Jepang tidak ada biri-biri, maka mereka menggunakan kerang berukuran besar.
Keyakinan lain dari Yamabusi adalah menganggap gunung sebagai tempat suci mereka. Ini sama dengan kepercayaan bangsa Yahudi yang menganggap gunung juga tempat suci mereka. Sepuluh Perintah Tuhan (Taurat) diturunkan di Gunung Sinai dan Yerusalem juga adalah kota yang berada di atas gunung.
Torah dan Tora-No-Maki
Di Jepang ada legenda mengenai “tengu”. Dia tinggal di gunung dan memiliki bentuk tubuh yang sama dengan “Yamabushi”. Ia memiliki kemampuan supernatural. Ninja atau mata-mata di zaman kuno yang bekerja untuk tuannya, sering mendatangi “tengu” di gunung untuk mendapatkan kemampuan supernatural darinya. Setelah memberikan kekuatan, “Tengu” memberi “Ninja” sebuah “tora-no-maki” (gulungan “tora”). “Gulungan tora” ini dianggap sebagai “kitab suci” yang berguna dalam setiap masalah. Sampai sekarang orang Jepang masih menggunakan kitab ini dalam keseharian. Tota-No-Maki amat mirip dengan nama “Torah” atau Taurat.
Omikoshi dan Tabut Perjanjian
Omikoshi di Jepang juga mirip dengan Ark of the Covenant (Tabut Perjanjian). Dalam Bibel, tertulis bahwa Daud atau David membawa tabut perjanjian dari Tuhan ke Yerusalem. “David dan para sesepuh Israel serta para komandan unit yang berjumlah ribuan pergi membawa tabut perjanjian TUHAN dari rumah Obed-Edom, dengan penuh kegembiraan. …Lalu David yang berpakaian jubah yang terbuat dari linen halus—begitu pula para Levites yang sedang membawa tabut, serta para penyanyi, dan Keniah, yang bertugas menyanyikan paduan suara. David juga mengenakan ephod dari linen. Jadi semua Israel membawa tabut perjanjian TUHAN sambil bersorak-sorai, dengan membunyikan tanduk biri-biri jantan dan terompet, dan simbal, serta memainkan lyre (instrumen bersenar yang berbentuk U, digunakan di zaman kuno-pen) dan harpa.” (15: 25-28)
Coba bandingkan dengan Omikoshi di Jepang. Ketika orang-orang Jepang mengangkut ‘Omikoshi’ yang bentuknya juga mirip dengan Tabut Perjanjian di saat festival, orang-orang Jepang juga bernyanyi dan menari di depannya, juga sambil bersorak-sorai, dengan memainkan alat-alat musik tradisional musik. Bukankah semua ini juga mirip dengan tradisi bangsa Yahudi?
Orang-orang Jepang mengangkut Omikoshi di atas pundak mereka dengan tiang – biasanya dua tiang. Begitu pula halnya dengan bangsa Yahudi, “Para Levites mengangkut tabut Tuhan dengan tiang di pundak mereka, seperti yang diperintahkan Musa berdasarkan firman TUHAN.” (Kejadian 1 15:15).
Tabut perjanjian Israel memiliki dua tiang (Eksodus 25: 10-15). Bibel juga mengatakan bahwa tiang-tiang tersebut diikatkan pada tabut oleh empat cincin “pada keempat kakinya” (Eksodus 25:12). Jadi tiang-tiang tersebut dilekatkan pada dasar tabut. Ini sama dengan Omikoshi.
Tabut Israel memiliki dua patung cherubim (malaikat urutan kedua pada hirarki surga) berbahan emas pada bagian puncaknya. Cherubim, mahluk surga atau malaikat bersayap seperti burung. Dan Omikoshi juga memiliki burung emas, yang disebut “Ho-oh”, pada bagian puncaknya, yang merupakan burung khayalan dan makhluk surga yang misterius. Tabut bangsa Yahudi seluruhnya dilapisi emas, sama dengan Omikoshi. Ukuranya juga sama, demikian pula tarian yang mengiringinya.
Dalam festival “Gion-jinja” di kuil Shinto di Kyoto, orang-orang mengangkut Omikoshi lalu masuk ke dalam air dan menyeberangi sungai. Bukankah ini mirip dengan tradis Yahudi yang mengangkut tabut ketika menyeberangi sungai Jordan setelah melakukan eksodus dari Mesir? Di sebuah pulau di Laut Inland, Seto, Jepang, orang-orang terpilih sebagai pengangkut Omikoshi tinggal bersama di sebuah rumah selama satu minggu sebelum mereka bekerja. Ini untuk mencegah pencemaran pada diri mereka. Selanjutnya, pada hari sebelum mengangkut Omikoshi, mereka mandi dalam air laut untuk menyucikan diri. Ini sama dengan kebiasaan Yahudi, “Demikianlah para pendeta dan Levites menyucikan diri mereka untuk membawa tabut Tuhan Israel.” (Kejadian 1 15:14)
Bibel mengatakan bahwa setelah tabut memasuki Yerusalem dan barisan berhenti; “David membagikan sepotong roti, sepotong daging, dan sepotong kue kismis, kepada setiap orang Israel, baik laki-laki maupun perempuan” (Kejadian 1 16:3). Ini sama dengan kebiasaan di Jepang. Di Jepang, setelah festival selesai, gula-gula dibagikan kepada setiap orang.
Garam
Orang Jepang memiliki kebiasaan menggunakan garam untuk ritual penyucian. Penduduk terkadang menaburkan garam setelah orang jahat beranjak pergi. Tradisi ini serupa dengan Israel kuno. Alkisah, setelah Abimelech merebut kota musuh, “ia menaburinya dengan garam” (Para Hakim 9:45). Orang Jepang dapat cepat memahami bahwa ini sama artinya dengan membersihkan dan menyucikan kota.
Ketika orang Yahudi menempati rumah baru, mereka menaburinya dengan garam untuk menyucikan dan membersihkannya. Ini sama dengan orang Jepang. Di restoran khas Jepang, garam biasanya diletakkan di dekat pintu masuk. Orang Jepang juga meletakkan garam di pintu masuk pemakaman. Setelah kembali dari pemakaman, seseorang harus menaburkan garam kepada seseorang yang lain sebelum ia (orang yang ditaburi garam) memasuki rumahnya, karena dalam agama Shinto terdapat anggapan bahwa semua orang yang pergi ke pemakaman atau menyentuh mayat menjadi tidak bersih. Demikian pula dengan bangsa Yahudi.
Sumo atau pegulat tradisional Jepang biasa menaburi ringnya dengan garam sebelum mereka bertarung. Sumo dalam kepercayaan Jeang merupakan satu persembahan. Ini serupa dengan kebiasaan yang dilakukan bangsa Yahudi sebagaimana Bibel mengatakan, “Saat kau melakukan persembahan, kau harus mempersembahkan garam” (Leviticus 2:13). Tradisi kuo Jepang biasa memasukkan garam ke air saat mandi pertama bayi. Demikian pula dengan orang Yahudi yang lazim membasuh bayi yang baru lahir dengan air setelah menggosok sang bayi dengan garam secara lembut (Ezekiel 16:4). Penyucian dan pembersihan dengan menggunakan garam merupakan kebiasaan umum yang terdapat dalam tradisi Jepang dan Yahudi. (Bersambung/ridyasmara)
No comments:
Post a Comment